Tasawuf
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis
akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat
dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW.
Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa
faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan
akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian menemukan
momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh munculnya
sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.
Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil,
makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan
untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang
menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang
semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan
cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban
tugas akhlak tasawuf.
Melihat demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah
mengherankan jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib
diikuti oleh kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.
Disadari bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan,
namun keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai
kesalahan dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.
B. Rumusan Masalah
– Bagaimana untuk memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf?
– Apa saja faidah dari mempelajari akhlak tasawwuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu
pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya
kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi
ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara
Lingustik kata akhlak merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang
tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Secara bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا artinya perangai,
kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata
khuluq.
انما بعثت لا تمم مكارم الاخلاق
Artinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi
pekerti. (HR. AHMAD)
Secara istilah akhlak berasal dari :
a) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c) Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan.
d) Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan
yang lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling
melengkapi,
B. Ruang Lingkup Akhlak
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan
tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang
perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut
tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan
bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar
dengan ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam,
dan lai-lain.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah
perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau
buruk.
Definisi dari ruang lingkup akhlak:
Perbuatan-perbuatan manusia menurut
ukuran baik dan buruk.
Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
C. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di
dunia dan di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling
membantu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara
akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama
dengan dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah
urusan akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau
ungkapan, ”Agama adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka
jangan heran terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu
akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai
orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga
keliru.[1]
D. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan
sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan
berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya
termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah
untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati
menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.[2]
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria
perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan
yang baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai
berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki
IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia
miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia.
Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki
pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka
semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka
bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai
perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan
untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui
perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha
melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E. Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan
sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan
langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud
(tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan
menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul
Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran
mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran
tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan.
Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala
ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman
yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki
sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu
dibangun atas 3 macam :
a. Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir
b. kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
c. Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan
menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan
pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama
makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn
Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H,
karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari
ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha
benar).
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak
manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
F. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur
hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan
komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari
pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Para ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian:
1) Tasawwuf falsafi
2) Tasawwuf akhlaki
3) Tasawwuf amali
Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab
yang terpuji.
G. Tujuan Mempelajari Tasawwuf
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas).
Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada
Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas
diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata
cara yang dilakukan.
Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal
Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan
kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah
al-qur`an berikan.
H. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf
Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang
baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha
Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan
(mulia) nafsu, selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan
terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di
akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA
AKHLAK DAN ILMU TASAWUF
A. Persamaan Etika, Moral, dan
Akhlak
1. Persamaan
Persamaan ketiganya terletak pada
fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan
manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2. Ukuran: yaitu baik dan buruk
3. Tujuan: membentuk kepribadian manusia[3]
2. Perbedaan
1. Sumber atau acuan:
o Etika sumber acuannya adalah akal
o Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
o Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat Pemikiran:
o Etika bersifat filososfis
o Moral bersifat empiris
o Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3. Proses munculnya perbuatan:
Etika muncul ketika ad aide
Moral muncul karena pertimbangan suasana
Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.[4]
B. Hubungan Manusia dengan Etika,
Moral dan Akhlak
§ Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan
dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan
sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar
hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status
hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
§ Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem
hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi
keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori,
bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau.
Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus
“buaya” yang sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya
penegakan hukum di Indonesia.
§ Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk
“Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari
pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya
merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah
yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan
akhir yang dicarinya.
§ Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat
terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat
menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup
manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi
yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an
kebaikan umum (hlm. 243).
§ Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan
mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu
dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan
dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada
tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan
akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan
aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi,
yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
§ Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek
pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya
adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni
manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.
§ Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius
dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri
yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar
kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang
substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik; kedua,
manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi
transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional,
sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk
berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu
untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
§ Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan
manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai
dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga
setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat
kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi
akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang
berakal budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai
makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya.
Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat
kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai
etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
§ Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan
keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan
hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang
bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan
manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir,
yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral
untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang.
Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
§ Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal
budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas
perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang
diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum.
Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri
merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan
melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri”
pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
§ Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa
ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan
hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan”
bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.[5]
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA
Sebagai sejarahwan mengaitkan
sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn Ali’
Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski amat
dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam kaum
Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam
kelima dari mazhab syi’ah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i kemungkinan akibat kritik-kritik
keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk membela ahlul bait
(keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi, seperti
Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.
Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut.
Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat
pribadi-pribadi seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al
Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak pernah bebas dari
kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa tahap[6];.
1. Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf ini
menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud
ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke
Khurasan dan Mesir.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:
Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah
al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H).
Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah
masa Nabi (tabi’in) termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan
Salim Ibn Abdullah (w.106 H).
2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
Pada paruh pertama abad ke-3 H,
wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun
tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka.
Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan
memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal
ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana,
hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid
Al-Baghdadi.
3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
Tasawuf falsafi merupakan perpaduan
antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya.
Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam
kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena
orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat
segala sesuatu.
4. Tahap Tarekat (Abad VII H dan
seterusnya)
Meskipun tarekat telah dikenal sejak
jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn
Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan
pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul Qadir
Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah
yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat
yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki pengikut
paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang telah memiliki
banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad
ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
PEMBAGIAN TASAWUF DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku,
akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu
yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq
mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh
ulama’ lama sufi.[7]
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental
yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh
karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya
adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan
-bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek
antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).
Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti
sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya
akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[8]
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari
tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf
seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya,
karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak
dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena
teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf
jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf
seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena
itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu,
mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide
ketuhanan.[9]
C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua
macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki
perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal
dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan
esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani
melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki
pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu
mempunyai dua kesamaan.[10]
D. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna
intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang
terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam
dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek
batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek
dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa
mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan jiwa.
Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara
hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama, yaitu
fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap
asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf.
Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam
hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan
akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan
atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka
adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185
H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin
dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah
terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka,
tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan.
Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji
hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai
amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang.
Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya.
Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum
salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam
praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan
akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah
ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk
berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah
yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan
konsistensi pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu,
ketika mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya.
Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan
akhlak.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad
ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran
ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati
karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi,
Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham hululnya ketika itu
sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi
jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayan
pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh
unsur-unsur di luar Islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya
menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme,
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang
tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia
melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan
Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang
moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan
dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal
karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang
begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia
Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang
mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid
Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani
(wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan
tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat
setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga
tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi
Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh
Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu
Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada
tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak
menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan
khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai
jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf
maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan
tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf
akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan
tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari
tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua,
yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf
falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan
ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang
dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang
fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam
Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat
Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang memadukan taswuf
dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang juga seorang
filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat
pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling
keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu
Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.
Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam
bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan
imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran
lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan
pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang
ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk
berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf
Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam
menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan,
yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah.
Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada
abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah
memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf
pada doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh
sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar
sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih
dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi
secara implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan
ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat
baru-Nya.
MAQAMAT dan AHWAL
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat
mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa
tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan
tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’
dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun
urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat
adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan,
posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual
atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan
spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat
sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat
ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing
pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi
memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba
dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan
suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam
pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba
dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus
dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari
beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan
secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan
tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun maqamat yang
dimaksud diantaranya sebagai berikut[11]:
1. Taubat
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf ,
taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa
merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu
yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika
seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri
dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang
sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah
2. Wara’
Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang
haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد
الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang
tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak
bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau
aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak
hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika
berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf.
Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi
untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan
tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik
yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir
konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain
yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud
mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah
(perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk
kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan
kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk
meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
4. Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki
apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata,
orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr
berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk
memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip
seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”.
Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta
tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah
disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang
paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa
dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk
mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga
adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah
Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa.
Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena
iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi
syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut
ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah
untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak
ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna
atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir
dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa
semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak
seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti
halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia
termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan
kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat
ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa:
الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu
Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا
فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam
perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan
senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal
tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan
seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang
salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan
fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala
kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat
dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit
dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun,
konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli
sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah,
tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[12]
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara
terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian
adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri
diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas
diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya.
Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa
tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah
dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati
inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena
menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu
akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan
bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa
rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah
sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada
Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia
telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj
tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan
bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati,
tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti
dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat
Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir
dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan
Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa
cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan
tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian
akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi
seluruh ahwal .